cerita tentang pelajaran hidup,
janganlah melihat sebuah persoalan dari satu sisi yang pada akhirnya
akan membuat kesimpulan yang terburu-buru. Dari pinggir kaca nako di
antara celah kain gorden, saya melihat anak muda itu mondar-mandir di
depan rumah. Matanya berkali-kali melihat ke rumah saya. Tangannya yang
dimasukkan ke saku celana, sesekali mengelap keringat di keningnya.
Saya
pernah melihat anak muda itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu
atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu.
Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya
hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah
dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf dan bergegas
mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu
dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue,
telah raib.
Dada
saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud anak muda yang bisa jadi
umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu?
Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk
dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang
merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang
lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan
koran. Atau dia punya masalah dengan Adhi anak saya?
Kenakalan
remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan
remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi
mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh
pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini,
saya hanya seorang diri. Kang Dwi, suami saya, ke kantor. Adhi sekolah,
Anna yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Dian sudah seminggu
tidak masuk.
Jadi
kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya
bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.
Tapi
mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai
tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu
berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia
sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja
yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak
mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan
peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang,
tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?
Saya
masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di
samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali
masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan
di dunia ini yang tidak ada jawabannya.
Terlintas
di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai.
Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak
itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang
memukul.
Tiba-tiba
anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran
jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung.
Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak
bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya
pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda
itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah
di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda
itu karena kaki saya masih lemas.
----------------------o0o---------------------------
Dan
hari ini, anak muda yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu,
mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya
periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya
simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada
yang berkurang.
Lama
saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang
anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya,
dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan
uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam
dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?
Bersama
dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan
surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari
kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti
ini:
“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.
Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.
Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.
Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.
Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?
Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.
Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.
Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.
Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.
Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.
Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”
Surat
tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya
mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan
tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di
taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun
yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya
menanyakannya.
Lelah
mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat
dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada
sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi
silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Dwi membawa hadiah-hadiah
istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira
biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.
Kang
Dwi dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir
ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan.
Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang
harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga
jutaan, dan sebagainya.
Saya
menolaknya meski Kang Dwi bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya
ulang tahun, Kang Dwi menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi
saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya
sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bibi Dian, lebih seratus bungkus
nasi saya bikin. Diantar Kang Dwi dan kedua anak saya, nasi-nasi
bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan
pengamen yang banyak di setiap stopan.
Di
stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Dwi dan kedua
anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir di mata
saya. Anna menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak
Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.